Newestindonesia.co.id, Brasil berencana menempuh jalur hukum jika hasil autopsi kedua mendiang Juliana Marins menunjukkan ada kelalaian yang menyebabkan perempuan 26 tahun itu meninggal dunia.
Marins meninggal dunia usai terjebak selama empat hari di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 21 Juni lalu.
Dilansir CNN Indonesia, Advokat HAM dari Kantor Federal Pembela Publik Brasil (Federal Public Defender’s Office/DPU), Taisa Bittencourt, mengatakan otoritas Brasil tengah melakukan autopsi ulang kepada Marins setelah mendapat permintaan dari pihak keluarga.
Bittencourt menuturkan hasil autopsi ini akan menentukan apakah otoritas Brasil akan mengajukan penyelidikan internasional atas kematian Marins atau tidak.
“Kami menunggu laporan (dari pihak Indonesia) dan setelah laporan ini sampai di kami, kami akan menentukan langkah-langkah selanjutnya. Autopsi kedua ini adalah atas permintaan keluarga Juliana,” ucap Bittencourt seperti dikutip media lokal Globo.
Tapi mereka belum memutuskan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Kami akan mendukung keluarga berdasarkan hasil autopsi dan apa pun keputusan mereka,” paparnya menambahkan.
Bittencourt menuturkan autopsi ulang ini diminta keluarga karena minim klarifikasi dari otoritas Indonesia terkait penyebab kematian dan kapan tepatnya Marins meninggal dunia.
Hasil autopsi yang dilakukan tim forensik Rumah Sakit Bali memaparkan Marins meninggal 20 menit setelah jatuh di Gunung Rinjani.
Dokter Spesialis Forensik Rumah Sakit Bali Mandara Ida Bagus Putu Alit mengatakan Juliana mengalami luka paling parah di dada akibat benda tumpul.
“Jadi kalau kita lihat yang paling terparah, itu adalah yang berhubungan dengan pernapasan. Yaitu ada luka-luka terutama di dada-dada, terutama di dada-dada bagian belakang tubuhnya. Itu yang merusak organ-organ di dalamnya,” katanya dalam konferensi pers, Jumat (27/6).
Sementara itu, DPU dikabarkan telah meminta Kepolisian Federal Brasil untuk menyelidiki apakah ada indikasi pelanggaran kriminal seperti pengabaian yang dilakukan otoritas Indonesia dalam menangani Marins.
Jika terbukti ada unsur kelalaian dan pembiaran, kasus ini akan diajukan ke badan hukum internasional seperti Inter-American Comission on Human Rights (IACHR).
Sementara itu, Kantor Jaksa Agung Brasil (AGU) memaparkan akan menuruti permintaan pihak keluarga Marins untuk mendampingi autopsi ulang jenazah.
AGU telah meminta Pengadilan Federal untuk menggelar rapat darurat dengan DPU dan pemerintah untuk menentukan respons yang tepat terkait kasus ini.
“Adalah hal yang penting (untuk melakukan autopsi dan analisis ulang) demi memastikan penyebab kematian. Ini adalah cara untuk menentukan bahwa keluarga korban menerima hak dan pelayanan yang sesuai dengan kerangka hukum Brasil,” bunyi pernyataan AGU.
Marins meninggal dunia setelah terjebak empat hari di puncak Rinjani. Ia diperkirakan jatuh pada 21 juni sekitar pukul 06.30 waktu setempat.
Proses pencarian mulai dilakukan oleh tim SAR gabungan di hari yang sama sekitar pukul 09.50 WITA. Namun hingga malam hari, tim masih belum bisa menjangkau lokasi keberadaan korban.
Baru pada Minggu, tim mengerahkan drone untuk melakukan pencarian namun tidak maksimal lantaran cuaca buruk dan berkabut.
Korban berhasil ditemukan pada Senin sekitar pukul 07.05. Menurut kepala tim penyelamat, Marins dalam kondisi tidak bergerak Ketika ditemukan.
Namun, tim SAR juga tidak dapat segera mengevakuasi korban karena cuaca buruk dan medan yang ekstrem.
Korban baru bisa dievakuasi pada Rabu (25/6) pagi pukul 06.00 WITA dengan metode lifting.
Keluarga Minta Autopsi Ulang Jenazah Marins di Brasil: Tim SAR Lalai
Jenazah pendaki Brasil Juliana Marins yang tewas di Gunung Rinjani Nusa Tenggara Barat pada pekan lalu akan diautopsi ulang di negara asal sesuai permintaan keluarga.
Otoritas Brasil lalu sepakat untuk mengautopsi ulang jenazah Marins usai tiba di negara Amerika Selatan itu. Jenazah perempuan ini tiba di negara asalnya pada 1 Juli.
“Dengan bantuan GGIM (Kantor Manajemen Terpadu Kota) Balai Kota Niterói, kami menghubungi DPU-RJ (Kantor Pembela Umum Federal), untuk segera mengajukan permintaan ke Pengadilan Federal demi otopsi ulang kasus saudara perempuan saya, Juliana Marins,” kata saudara perempuan Marins dalam akun Instagram pada Senin (30/6), dikutip Folha de S Paulo melalui CNN Indonesia.
“Kami percaya ke peradilan federal Brasil dan berharap keputusan positif dalam beberapa jam mendatang,” imbuh dia.
Di kesempatan terpisah, keluarga Marins mengatakan tim penyelamat Indonesia lalai dalam menyelamatkan Marins. Mereka menegaskan akan mencari keadilan.
“Juliana menerima kelalaian serius dari tim penyelamat. Jika mereka tiba tepat waktu, Juliana mungkin bisa selamat,” demikian menurut keluarga.
“Juliana layak menerima lebih! Sekarang kita akan berjuang untuk keadilan dia. Jangan lupakan Juliana,” imbuh mereka.
Marins tewas usai terjatuh saat mendaki bersama lima pendaki lain pada 21 Juni sekitar pukul 06.30 WITA. Tim SAR gabungan baru menemukan korban pada 23 Juni pada pukul 07.05 WITA, atau sekitar dua hari setelah insiden.
Lalu pada 24 Juni, tim berhasil menjangkau korban yang berada di kedalaman 600 meter. Namun, jenazah Marins baru berhasil dievakuasi pada 25 Juni dengan cara diangkat dari kedalaman 600 meter.
Dokter Spesialis Forensik Rumah Sakit Bali Mandara Ida Bagus Putu Alit mengatakan hasil autopsi menunjukkan Marins meninggal dunia 20 menit setelah jatuh.
Atit menyatakan Marins meninggal dunia karena mengalami benturan keras bukan karena hipotermia. Ia juga menyebut perempuan itu mengalami luka paling parah di dada akibat benda tumpul.
Editor: DAW
