Newestindonesia.co.id, Lonjakan drastis konten buatan AI dari platform seperti ChatGPT dan Gemini secara pesat mengubah lanskap media sosial, menghadirkan efisiensi luar biasa namun sekaligus menjadi pisau bermata dua. Konten yang seringkali tidak terstruktur dan tidak bermanfaat kini membanjiri linimasa, dengan dampak paling terasa pada industri hiburan yang menargetkan semua jenjang usia.
Keprihatinan utama tertuju pada anak-anak yang terpapar konten “Brainrot“, ilustrasi absurd yang dihasilkan dari perintah acak bisa berpotensi memengaruhi perkembangan kognitif mereka. Fenomena ini tidak berhenti di situ, karena konten AI telah merasuk ke laman berita, akun meme, serta dunia bisnis dan pemasaran.
Dilansir dari kompas.id, fenomena ini sudah dibicarakan sejak 2010 yang jika demikian dibiarkan, kematian internet mulai terjadi. Teori kematian internet meyakini bahwa manusia bukan lagi kekuatan utama yang menggerakkan internet. Pandangan ini menyebutkan bahwa ruang siber saat ini telah dipenuhi oleh bot serta konten yang diciptakan oleh kecerdasan buatan, sehingga sebagian besar lalu lintas dan unggahan daring tidak lagi berasal dari interaksi manusia asli.
Gagasan ini mulai beredar di platform 4Chan pada penghujung dekade 2010-an. Teori tersebut mendapat perhatian yang lebih luas pada tahun 2021, terutama setelah munculnya sebuah tulisan mendalam berjudul “Dead Internet Theory: Most of the Internet is Fake” di forum Agora Road’s Kafe Macintosh.
Menurut news.bitcoin.com, Hal ini juga didukung oleh statement dari CEO OpenAI Sam Altman memposting di X bahwa “saya tidak pernah terlalu serius mengambil teori internet mati, tetapi sepertinya ada banyak akun Twitter yang dijalankan LLM sekarang,” mendorong perdebatan kembali tentang prevalensi akun dan konten yang dihasilkan AI secara online. Para pengamat platform X menggarisbawahi meningkatnya kekhawatiran seputar keaslian dan moderasi konten akibat maraknya aktivitas yang dikendalikan oleh AI. Banyak kritikus mengingatkan bahwa saat mengambil alih Twitter, Elon Musk berjanji akan memberantas bot. Kenyataannya, masalah ini belum juga terselesaikan dan bahkan diduga semakin memburuk.
Dilansir dari independent.co, Situasi tersebut mendorong pihak platform dan para peneliti untuk menyerukan transparansi yang lebih baik. Mereka juga mendesak adanya pengembangan alat yang mampu membedakan secara akurat antara akun yang dioperasikan oleh manusia dan akun yang digerakkan oleh AI.
Ditambah lagi, Sejak ChatGPT dirilis untuk publik pada akhir 2022, berbagai sistem serupa lainnya mulai menjamur di internet. Hal ini membuat siapa pun, baik dengan niat baik maupun jahat, menjadi jauh lebih mudah untuk membuat konten dan unggahan secara otomatis di berbagai platform online.
Pada akhirnya, Teori Internet Mati menjadi cerminan dari kekhawatiran mendalam tentang era digital kita. Cara konten diproduksi dan disebarkan secara massal telah menciptakan lautan informasi yang puncaknya adalah krisis keaslian. Oleh karena itu, teori ini mendorong kita untuk merenung secara kritis.
Kita ditantang untuk lebih bijak dalam menemukan keseimbangan antara derasnya arus inovasi teknologi dengan kebutuhan untuk terus merawat hubungan antarmanusia yang tulus dan bermakna.
Penulis : Andika Pratama
