Newestindonesia.co.id, Pelecehan seksual masih menjadi persoalan paling mendesak yang dihadapi perempuan dan remaja Rohingya di kamp-kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh.
Temuan ini terungkap dalam sebuah studi terbaru yang dirilis pada Minggu (31/8/2025). Diketahui, Cox’s Bazar kini menampung sekitar satu juta warga Rohingya, mayoritas beragama Islam, yang melarikan diri dari operasi militer brutal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, sejak 2017.
Laporan tersebut disusun oleh ActionAid, salah satu organisasi nirlaba terbesar yang beroperasi di kamp pengungsian Rohingya. Melalui 66 wawancara mendalam, mereka menemukan bahwa ancaman kekerasan seksual terhadap perempuan kian serius.
“Pelecehan seksual adalah perhatian terbesar,” ujar Tamazer Ahmed, manajer kebijakan, penelitian, dan advokasi di ActionAid, dikutip dari AFP melalui Kompas. Ia menambahkan, praktik pernikahan dini dan poligami juga sudah menjadi hal lumrah.
“Sebanyak 93 persen responden tetap berada di luar cakupan bantuan hukum,” kata Ahmed. Lebih jauh, laporan tersebut menyebut kekerasan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki yang dikenal korban, tetapi juga melibatkan aparat Batalyon Polisi Bersenjata (APBN) yang dikerahkan pemerintah Bangladesh di kamp.
Menurut Ahmed, ancaman yang dirasakan para perempuan telah mengalami perubahan. Jika pada awal masa pengungsian tantangan terbesar adalah kurangnya fasilitas dasar, kini mereka menghadapi pelanggaran yang lebih sistematis.
“Saat ini, perempuan dan remaja Rohingya sering menjadi korban pelecehan, pemerkosaan, perdagangan manusia, kemiskinan, pengucilan pendidikan, dan bahkan kematian,” ucapnya.
Laporan itu juga menyoroti tingginya kerentanan anak perempuan berusia 6 hingga 15 tahun. Sebagian besar kasus pelecehan terjadi di sekitar jamban dan tempat mandi, pusat distribusi bantuan, rumah sakit, sekolah dan madrasah, hingga perbatasan dan rumah kerabat.
“Patriarki mengakar kuat di komunitas Rohingya,” kata Direktur Eksekutif ActionAid, Farah Kabir. Namun, Kabir menegaskan, penelitian ini berfokus pada suara perempuan Rohingya yang sebagian besar berusia 16 hingga 30 tahun. “Pandangan mereka menjadi inti penelitian ini,” ujarnya.
Para perempuan yang diwawancarai mendesak otoritas untuk menambah penerangan di area publik, mengganti petugas APBN dengan personel militer, melibatkan laki-laki dalam program pencegahan, serta memperluas akses pendidikan dan peluang ekonomi.
Meski demikian, kepercayaan terhadap aparat keamanan maupun pemimpin agama masih rendah. Banyak perempuan mengaku hampir tidak memiliki tempat untuk melapor ketika mengalami kekerasan. Di sisi lain, Komandan APBN Kausar Sikdar membantah tuduhan tersebut. “Kami tidak mengetahui adanya laporan semacam itu terhadap kepolisian,” katanya.
Bangladesh sendiri mencatat lonjakan pengungsi dari Myanmar sejak awal 2024. Sedikitnya 150.000 warga Rohingya baru tiba di Cox’s Bazar, memperburuk kondisi kamp yang sudah penuh sesak.
Editor: DAW
