Newestindonesia.co.id – Salah satu dari banyak bentuk inkompetensi yang paling menonjol di masyarakat mayoritas terutama di lingkungan yang kurang berkembang dari segi ilmu pengetahuan, kurangnya orang berbakat, dan dominasi budaya toxic yang menghambat tumbuh kembangnya potensi seseorang.
Contoh tersebut sering kita jumpai sehari hari sebagai manifestasi dari bias kognitif masyarakat yang terus berkelanjutan dan anehnya tetap dipelihara seakan akan inkompetensi adalah hal yang dijadikan alat justifikasi bagi individu atau kelompok yang tidak ingin meningkatkan value diri mereka sendiri.
Bahkan pada taraf tertentu akan cenderung untuk menarik individu yang mencoba untuk berubah agar tetap dalam level yang sama karena bagi mereka beranggapan hal tersebut sebagai suatu ancaman.
Seperti yang dilansir dari Alodokter.com, fenomena ini layaknya jika diilustrasikan mirip seperti sekumpulan kepiting dalam ember yang penuh sesak, jikalau satu dari kepiting tersebut berusaha untuk naik, maka kepiting lainnya akan menariknya jatuh kembali. Inilah yang dimaknai sebagai Crab Mentality atau Mental Kepiting.
Mentalitas ini berakar pada rasa iri, rasa tidak aman, atau keyakinan bahwa jika seseorang berhasil, itu berarti orang lain akan kehilangan peluang atau nilai. Ini di asumsikan seperti ““Jika aku tidak bisa mendapatkan yang aku mau, kamu juga tidak boleh mendapatkannya.”. Mentalitas ini dapat lahir dari mana pun bahkan dalam satu relasi persahabatan yang dekat dapat kemudian terancam jika salah satunya tidak memiliki rasa “kita adalah sama karena kita teman dekat“. Pelaku yang merasa tertinggal akan jengkel dan bukannya untuk mengejar temannya tetapi menyeret orang itu kembali dengan dalih solidaritas.
Model mentalitas semacam ini akan membentuk yang kemudian dinamakan “Similiarity Bias” ketika pelaku tidak merasakan bentuk “persamaan” terhadap value yang dimilikinya dengan orang sekitarnya. seperti yang dikutip dari laman hipeople.io, similarity bias, sering disebut bias afinitas, adalah kecenderungan individu untuk lebih menyukai orang lain yang memiliki karakteristik, latar belakang, atau pengalaman serupa.
Karena dengan praanggapan bahwa jika ia dikelilingi oleh orang dengan latar belakang, preferensi, dan frekuensi yang berbeda itu cenderung akan membuatnya tidak nyaman. Contohnya banyak ditemukan pada kasus kerja kelompok. Siswa berkecendrungan memilih rekan yang menurut mereka “sefrekuensi” atau “secircle” daripada secara objektif bergabung dengan yang lebih mahir dibidangnya.
Kemudahan dalam mengakses sosial media juga membuat orang menjadi bersifat judgemental dan menjadi ofensif terhadap pencapaian orang lain yang terpampang dipostingan. Tak heran banyak dari mereka yang akan panas dan mengetik kata-kata yang tidak layak.
Ironisnya di Indonesia, keberpihakan individu terhadap kesamaan ini sering dinormalisasi dalam berbagai institusi dan tatanan sosial seperti penyeleksian calon pekerja, lingkungan akademis, dsb. Masalahnya, jika diri kamu terus berada dalam proses stagnan yang seperti itu, tentu dapat merugikan anda di masa depan dengan berbagai persaingan yang lebih sengit, sulit, dan kesempatan yang kecil untuk menggapai tujuan.
Kamu tidak bisa semerta merta bersikap abai dan memilih kenyamanan sementara dengan circle kamu. Kamu dan temanmu dapat membangun relasi yang lebih kolaboratif dengan diimbuhi dengan jiwa kompetitif yang sehat dan saling mendukung tanpa saling menjudge proses satu sama lain. Dengan begitu, kamu sudah selangkah keluar dari zona nyaman.
Penulis & Editor: Andika
