Newestindonesia.co.id – Dalam dunia yang serba instan ini, tak jarang kita sering dihadapkan dengan berbagai konflik-konflik atau permasalahan yang umum yang cepat atau lambat akan menggiring kita pada rangkaian pilihan solusi. Namun, dibalik solusi yang ditawarkan misalkan oleh warga setempat pada fenomena alam banjir, tentang penanganan sekaligus pencegahan kejadian tersebut dengan insiasi dari salah satu penduduk untuk menyemangati warga bergotong royong membersihkan sampah yang menyumbat dan mwembenahi saluran air, namun sesaat kemudian terdapat respon dari warga lain ” ah, pemerintah setempat aja ga pernah terjun ke lapangan ngurusin masalah kayak begini gimana mau deket ama warganya, ga bakal berguna“. Kondisi tersebutlah yang dinamakan dengan Nirvana Fallacy.
Istilah Nirvana Fallacy terinspirasi dari Harold Demsetz, seorang profesor ekonomi Amerika di University of California di Los Angeles. Dikutip dari laman logicallyfallacious.com, fenomena atau cacatlogis Nirvana Fallacy adalah tindakan membandingkan solusi realistis dengan solusi ideal, dan secara bersamaan mengabaikan atau bahkan menolak solusi realistis yang tersedia tersebut sebagai hasil perbandingan dengan standar yang dianggap “seharusnya demikian” dengan mengabaikan fakta bahwa tindakan yang realistis dengan peningkatan sekecil apapun dapat memberi hasil yang baik. Cacat berpikir tersebut akan berujung kepada suatu pemikiran “All or Nothing” dengan mentalitas bahwa suatu tindakan perubahan tidak akan lebih baik dilakukan jika tidak dalam level yang maksimal. Konsep ini sebenarnya sedikit mirip dengan pesimisme karena keduanya menyebabkan suatu aksi menjadi terurungkan karena pertimbangan yang tidak rasional.
Seperti yang dilansir dari kumparan.com bahwa munculnya jenis logical fallacy ini muncul akibat rasa ketidakpercayaan yang sudah terlalu kuat atau bentuk skeptis terhadap pemerintahan dalam mengimplementasikan visi dan misinya pada sebuah kebijakan. Masih segar hingga sekarang, satu program utama pada masa kepresidenan Prabowo Subianto adalah makan gizi gratis.
Terlihat sangat efektif aksi tersebut mengingat generasi muda sekarang perlu asupan yang bergizi. Namun, tak lama kemudian datanglah komentar dari netizen dengan segala kreativitasnya membentuk pemikiran negatif ” yaelah, dimana mana pendidikan gratis diatas makanan gratis, ini mah emang sengaja biar ga bikin nambah pinter rakyatnya”. Tentu dari situ itikad yang tadinya baik dan kelihatannya efektif esensi dari program tersebut menjadi berkurang. Terlebih lagi dengan peran media yang mendominasi ruang suara masyarakat di kedua sisi baik intelektual maupun awam. Ini mengakibatkan perseteruan tersebut tidak akan pernah berhenti.
Lalu bagaimana cara setidaknya mengatasi pola pikir tersebut?. Anda pasti pernah mendengar perumpamaan “hal yang besar selalu dimulai dari hal kecil“. Pola pikir ini dapat di bentuk dengan mengubah aktivitas keseharian kita yang merugikan menjadi satu bentuk aksi disiplin yang kecil.
Anda bisa memaksa membaca buku satu hari satu halaman untuk dengan komitmen bahwa anda sudah mahal mahal membeli buku tersebut. Dengan menyadari bahwa satu kegiatan yang simple dilakukan lebih membuahkan manfaat darupada tidak sama sekali, perlahan kerangka pikir anda juga akan berubah dan segera menyadari preferensi yang berbeda sisi dari keterbatasan pilihan yang realistis. Ingatlah bahwa ekspektasi anda yang Utopis itu akan mustahil terealisasikan jika anda bahkan tidak ingin memulai dan tidak tahu seperti apa titik akhir yang didambakan.
Penulis & Editor: Andika
