Newestindonesia.co.id, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkap penyebab penurunan bunga kredit perbankan lambat meski suku bunga acuan BI (BI Rate) sudah turun lima kali sepanjang 2025.
Sebagai informasi, sejak Januari 2025 BI telah lima kali menurunkan BI Rate dengan total penurunan 125 basis poin dari 6 persen pada akhir 2024 menjadi 4,75 persen. Perry menyebut, longgarnya kebjakan moneter itu tidak diikuti dengan penurunan bunga deposito dan kredit oleh perbankan.
Dibandingkan dengan penurunan BI Rate, suku bunga deposito tenor 1 bulan hanya turun sebesar 56 bps dari 4,81 persen pada awal 2025 menjadi 4,25 persen pada Oktober 2025. Kemudian, bunga kredit hanya turun sebesar 20 bps dari 9,20 persen pada awal tahun ini menjadi sebesar 9 persen pada Oktober 2025.
Padahal suku bunga di pasar uang dan imbal hasil surat berharga sudah turun mengikuti penurunan BI Rate.
Dilansir melalui Kompas (21/11), Adapun suku bunga INDONIA turun sebesar 203 bps dari 6,03 persen pada awal 2025 menjadi 4 persen pada 18 November 2025. Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) untuk tenor 2 tahun juga telah turun 226 bps dari 6,96 persen pada awal tahun menjadi 4,70 persen pada 18 November 2025. Sedangakn untuk tenor 10 tahun turun 113 bps dari tingkat tertinggi 7,26 persen pada pertengahan Januari 2025 menjadi 6,13 persen.
Demikian juga dengan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan juga menurun masing-masing sebesar 254 bps, 256 bps, dan 257 bps sejak awal tahun ini menjadi 4,62 persen; 4,65 persen; dan 4,69 persen pada 14 November 2025.
“Jadi yang menjadi masalah, isu yang terus jadi koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah kenapa suku bunga perbankan baik deposito maupun kredit turunnya kok lambat?” ujar Perry saat konferensi pers RDG BI November 2025, Rabu (19/11/2025).
Perry menjelaskan, lambatnya penurunan bunga deposito disebabkan oleh pemberian suku bunga khusus (special rate) dari perbankan ke para deposan besar. Special rate yang diberikan mencapai 27 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) bank.
“Special rate itu deposan besar, ada pemerintah, kementerian lembaga, non-BUMN, ada pemerintah non-BUMN, ada IKNB, ada swasta maupun juga yang lain-lain. Danannya (deposito) besar sehingga kemudian meminta suku bunga spesial kepada perbankan,” ungkap Perry.
Lantaran bunga depositonya tinggi, maka perbankan enggan menurunkan bunga kredit. Sebab bank membutuhkan pendapatan dari bunga kredit untuk membayar bunga deposito para deposan. Oleh karenanya, Perry telah mendorong perbankan untuk menurunkan special rate.
Saat ini Perry mengaku imbauan tersebut mulai dilaksanakan meski belum sepenuhnya turun. “Kalau suku bunga deposito bisa turun makanya suku bunga kredit juga bisa turun,” kata Perry.
Namun special rate bukan satu-satunya penyebab bunga deposito dan kredit sulit turun. Ada dua penyebab lainnya, yaitu biaya operasional tidak langsung (overhead) yang tinggi dan biaya margin premi risiko bank.
“Penurunan suku bunga kredit tidak hanya dipengaruhi oleh suku bunga deposito. Salah satunya deposito, tapi juga biaya overhead dan margin untuk risiko. Nah itu yang terus kami dorong koordinasi dengan KSSK,” tuturnya.
Editor: DAW



