Newestindonesia.co.id, Bukan hanya musik, memutar suara alam dan kicau burung di ruang usaha ternyata juga dapat dikenakan kewajiban membayar royalti. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa produsen rekaman atau fonogram memiliki hak ekonomi yang dilindungi undang-undang.
Fenomena ini muncul di tengah polemik kewajiban pelaku usaha membayar royalti atas penggunaan musik di ruang komersial. Sebagian pengusaha memilih memutar suara alam sebagai alternatif, dengan harapan terhindar dari pungutan royalti untuk lagu-lagu milik musisi.
Musisi Anji turut menyoroti kebijakan ini. Ia mempertanyakan pihak yang berhak menerima royalti atas pemutaran suara burung atau ambience di ruang publik.
Komisioner Bidang Lisensi LMKN, Johnny William Maukar, menjelaskan bahwa rekaman suara alam atau burung tetap mengandung hak terkait, khususnya milik produser rekaman yang merekam suara tersebut.
“Kalau suara burung didengar langsung dari sangkarnya tanpa proses perekaman, maka tidak ada hak terkait yang timbul. Namun, jika suara tersebut direkam, maka hasil rekaman itu dilindungi hukum,” kata Johnny.
Menurutnya, perlindungan tersebut mengacu pada konsep fiksasi, yakni proses merekam karya suara atau musik yang dapat dilihat dan didengar kembali. Dalam rekaman itu, hak dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta, serta pihak yang memproduksinya.
Meski suara alam bukan karya musik ciptaan komposer, bentuknya sebagai rekaman fonogram tetap membuatnya masuk dalam perlindungan hak terkait. Aturan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mengatur hak ekonomi bagi pencipta dan produser fonogram atas karya yang digunakan untuk kepentingan komersial.
Editor: DAW
